Selasa, 24 Oktober 2017

Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufiq Ismail


-->
Latar Belakang
Terbitnya Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufiq Ismail

Sekitar tahun 1960, semangat kebangsaan sebagian sastrawan Indonesia mengarah pada realisme sosialis. Gerakan ini tampak jelas pada karya-karya sastrawan Lembaga Kebudayan Rakyat (Lekra) seperti Pramudya Ananta Tur, Sitor Situmorang, H.R. Bandaharo, atau Utuy Tatang Sontani. Aliran realisme sosialis pernah mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1962-1965. Saat itu Lekra sangat berkuasa dalam bidang kebudayaan dan kesenian. Puisi-puisi karya penyair Lekra banyak menggambarkan penderitaan para buruh dan petani dengan maksud untuk membangkitkan pertentangan antara kaum buruh dengan kaum kapitalis atau borjuis. Sebenarnya perjuangan dengan dalih demi kepentingan buruh dan petani tersebut hanya untuk menutupi kepentingan partai. Bahkan dalam puisinya yang berjudul Makan Roti Komune, Sitor Situmorang menandaskan bahwa ia sangat menyetujui komunis dan mendambakan kehidupan sosialis di Indonesia.
Gerakan yang dilakukan Lekra mendapat tantangan dari sastrawan yang kemudian menandatanganni Manifes Kebudayaan di Jakarta pada 17 Agustus 1963. Isi Manifes Kebudayaan secara lengkap adalah:
· Kami para seniman dan cendekia Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita kebudayaan nasional kami.
· Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
· Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
· Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Namun, Manifes Kebudayaan kemudian dilarang oleh Presiden Saoekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964.
Gaya dan kehidupan sastra tumbuh dan berkembang karena tuntutan masyarakat dan sejarahnya (Saini, 1994: 13). Hubungan antara sejarah dan karya sastra amat dekat. Melalui karya sastra kita dapat menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi muda. Dengan banyak membaca karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama, sacara tidak langsung kita dapat memahami apa yang pernah terjadi pada bangsa kita.
Taufiq Ismail adalah pelopor puisi demonstrasi yang mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan kebenaran. Dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng, Taufiq Ismail banyak berbicara mengenai fakta sejarah sekitar tahun 1966. Isi puisi-puisinya berupa protes sosial, menentang tirani dan rezim seratus menteri. Hal ini menandakan suatu kebangkitan Angkatan 66 dalam dunia perpuisian di Indonesia yang selama lima tahun telah dikuasai oleh pengarang-pengarang Lekra. Lekra memandang politik sebagai panglima, yang berarti sastra harus mengabdi pada politik.
Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail terdiri atas 72 puisi, yang dibagi menjadi Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng terdiri atas 32 puisi. Tirani 18 puisi, dan Benteng 22 puisi. Kumpulan puisi ini bertema kecemasan, kebebasan, harapan, angan-angan, cita-cita, dan tekad. Tirani dan Benteng dapat dijadikan media untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan sejarah dan kepahlawanan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kesatriaan.
Pada halaman xi, Taufiq Ismail menuliskan bahwa salah satu urusan pangan, pembangunan ekonomi yang macet total, dan inflasi besar mengantarkan kesengsaraan menyeluruh di masyarakat. Di daerah-daerah tandus seperti di Gunung Kidul, kelaparan membawa penyakit busung lapar dan kematian. PKI ternyata tidak membebaskan mereka dari kesengsaraan dengan sesuatu yang konkret. Kemelaratan dan ketidakpuasan semacam ini justru dipelihara untuk dieksploitasi oleh PKI yang senantiasa menyebut dirinya sebagai pembela rakyat.

Tidak ada komentar: