(Setiap baris kalimat dalam cerpen 'Senja dan Hemodialisis' ini bukanlah sekadar fiksi yang lahir dari imajinasi. Meski tidak terlalu mendetail, cerpen ini merupakan serpihan kenangan nyata yang pernah kualami beberapa tahun silam. Jejak-jejak peristiwa yang masih berdenyut hangat di dalam ingatanku. Sebuah masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi, yang mengajariku arti ketabahan. Kisah ini tetap kusimpan dengan rapi dalam kotak kenangan, sebagai pengingat bahwa berbagai peristiwa pernah berjalan beriringan dalam hidupku.)
****************
Senja merona jingga, seperti kain sutra yang dibentangkan langit dengan hati-hati. Angin berembus pelan, menyentuh daun-daun mangga di samping rumah, seolah ikut menenangkan degup jantungku yang tak beraturan. Aku duduk di teras samping rumah, memeluk gawai dengan kedua tangan yang dingin. Jantungku berdegup seperti genderang perang, tak henti, tak sabar, dan tak memberi ruang untuk tenang.
Hari itu, hari pengumuman Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Dua anak kembarku, Bagas dan Bagus, berkumpul bersama teman-teman SMA mereka di rumah Bayu. Mereka sepakat membuka pengumuman bersama, berbagi harap, berbagi cemas, berbagi takdir. Kata mereka, agar bahagia tak ditanggung sendirian, dan sedih tak dipikul sendirian. Aku paham, tetapi seorang ibu selalu punya cara sendiri untuk cemas, menunggu dalam diam, berharap dalam doa, dan takut dalam bayang-bayang.
Berkali-kali kulirik layar gawai. Sunyi. Tak ada bunyi. Tak ada pesan. Hanya detik yang berjalan lamban, seperti kura-kura kelelahan.
Lalu
Ting… ting…
Dadaku seketika berdebar. Pesan masuk. WhatsApp dari Mama Bayu.
Tanganku gemetar saat membuka pesan itu. “Alhamdulillah… Bagas dan Bagus diterima SNBT. Semua anak yang berkumpul di sini juga diterima PTN.”
Air mata yang menggantung akhirnya jatuh satu per satu, membasahi pipi. Syukurku tumpah ruah, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Segera kuhubungi Bagas dan Bagus lewat panggilan video. Wajah mereka muncul di layar, dua wajah yang sama, dua senyum yang serupa, dua mata yang identik.
“Benar, Ma,” kata mereka hampir bersamaan. Bagus diterima di Undip, Bagas di UNNES. Satu kota, dua kampus, satu mimpi yang terus beriringan. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.
Memiliki anak kembar adalah anugerah yang tak terperi. Sekali mengandung, Allah memberiku dua nyawa sekaligus. Banyak orang bilang itu rezeki yang luar biasa, dan aku mengangguk setuju. Bagas dan Bagus adalah kembar identik. Wajah mereka bagai pantulan cermin. Sejak kecil mereka nyaris tak pernah bertengkar. Tak berebut mainan, tak iri soal perhatian. Ke mana pun pergi, selalu berdampingan, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Mereka memiliki satu rasa. Satu empati yang kuat. Jika hanya satu yang mendapat hadiah di sekolah dari lomba atau peringkat rapor, hadiah itu tak akan dipakai. “Nanti adik sedih,” kata Bagas. Atau, “Kasihan kakak,” kata Bagus. Aku sering terdiam mendengar itu. Anak-anak kecil yang mengajarkan arti keadilan dan empati.
Karena itu aku tak sanggup membayangkan jika hanya satu dari mereka yang diterima PTN. Bukan yang gagal yang akan terluka paling dalam, melainkan yang berhasil. Sebab bahagia mereka selalu ingin utuh, tak setengah.
Dua hari setelah pengumuman, kami sekeluarga berangkat ke Semarang. Orientasi kampus dan mencari kos menjadi agenda utama. Tujuan pertama adalah kawasan Undip. Di tengah riuh rendah lalu lintas dan gedung-gedung besar nan megah, mataku tertuju pada selembar stiker yang menempel di tiang listrik. ‘Terima Kos Putra’, begitu tulisannya. Bagiku, itu bukan sekadar iklan, melainkan sepotong pesan kecil dari semesta yang sengaja dijatuhkan ke pangkuan kami. Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera di stiker untuk memastikan alamat.
Kos itu berada di Perumahan Bukit Diponegoro. Kami menyusuri jalan menuju Perumahan Bukit Diponegoro. Seketika, hiruk-pikuk kota seolah tertelan bumi, berganti dengan harmoni alam yang menenangkan. Udara terasa dalam pelukan embun, segar dan jernih. Pohon-pohon rindang berdiri seperti barisan penjaga kampus. Sementara di lahan luas milik kampus, sapi-sapi merumput dengan dengan santai, tak terusik oleh ambisi manusia.
Bagus, dengan binar mata yang tenang, langsung menjatuhkan pilihannya. “Di sini saja, Ma,” ucapnya lembut. Hatiku menghangat. Anakku yang satu ini memang serupa air, ia tak pernah memberontak pada wadahnya, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Namun, pencarian di sekitar UNNES menjadi cerita yang berbeda. Kami harus beradu dengan terik matahari dan debu jalanan demi mencari satu syarat mutlak, kamar mandi dalam. Berjam-jam kami berputar, menembus labirin gang, hingga akhirnya takdir mempertemukan kami dengan sebuah bangunan yang baru saja selesai dipoles cat. Aroma semen yang baru kering masih tercium tipis. Bagas menjadi penghuni pertamanya.
Berbeda dengan kesunyian kos Bagus, di sini denyut hidup terasa lebih kencang. Suara kendaraan, aroma masakan dari warung-warung sekitar, dan hiruk-pikuk mahasiswa menciptakan simfoni yang gegap gempita. Dua anak kembarku menempati dua suasana yang berbeda, memulai dua jalan hidup yang perlahan mulai memisahkan raga mereka, meski jiwa mereka tetap satu.
Persiapan berikutnya adalah menyiapkan barang. Semuanya harus dobel. Sprei, kipas angin, perlengkapan mandi. Bahkan hal kecil seperti peniti, benang, jarum, cotton bud, dan gunting kuku pun aku siapkan. Aku menata semuanya rapi dalam dua koper besar. Tak boleh tertukar. Tak boleh salah. Tak boleh ada yang terlupa. Seperti menata masa depan mereka dengan penuh kehati-hatian.
Hidup tak selalu berjalan lurus. Dua hari menjelang keberangkatan mereka kuliah, suamiku jatuh sakit dan harus dirawat inap. Penyakit kronis yang selama diidapnya, diabetes dan hipertensi, kini merembet ke ginjal. Ginjalnya dinyatakan tak berfungsi. Sudah stadium lima! Vonis dokter jatuh seperti palu hakim, harus hemodialisis. Dunia terasa gelap. Langit seperti runtuh di atas kepalaku. Ruang hemodialisis adalah mimpi buruk bagiku. Bahkan melewati depannya saja membuat lututku lemas. Namun takdir tak bisa ditawar.
Hari Sabtu, tiga hari suamiku dirawat, anak-anakku harus berangkat ke Semarang. Aku tak bisa mengantar. Betapa perih rasanya. Seorang ibu yang seharusnya menggenggam tangan anaknya di gerbang awal masa kuliah, kini hanya bisa melepas dari kejauhan. Air mataku tumpah tak tertahankan. Kupeluk mereka erat di koridor rumah sakit. Beruntung, nenek, paman dan bibinya bisa mengantar. Mereka belajar mandiri, sementara aku belajar ikhlas menghadapi ketentuan-Nya.
Malamnya, saat aroma obat memenuhi ruangan, tiba-tiba aku ingin menghubungi anakku. Aku keluar dengan berjinjit, menutup pintu kamar rawat inap agar tak mengusik suamiku.
"Assalamualaikum, Sayang. Bagaimana harimu?" bisikku.
Namun, jawaban suara Bagas terdengar parau. "Baik Ma. Hanya, kakak butuh tas. Tas kakak sobek.”
“Kok bisa sobek? Bukannya itu tas baru?”
“Iya, Ma. Hanya…,” Bagas tidak melanjutkan kata-katanya.
“Hanya apa, Kak? Jantungku tiba-tiba berdebar keras.
“Mmm... mmm... kami jatuh dari motor. Tasnya sobek. Motor adik rusak, Ma. Tadi kami boncengan ke kos adik untuk ambil barang. Karena belum paham jalan, kami tanya google maps, malah diarahkan melewati jalan curam dan kami jatuh," katanya pelan, nyaris tak terdengar.
Deg! Duniaku luruh. Kata-kata itu seketika melucuti seluruh kekuatan yang tersisa dalam raga. Lututku mendadak kehilangan tumpuan, terasa lunglai bagai untaian benang yang terputus dari kaitan, hingga untuk sekadar berdiri pun aku kesulitan. Seluruh persendianku melemah, denyut jantung berdegup tak beraturan di tengah heningnya dunia yang tiba-tiba terasa berputar. Aku jatuh terduduk di lantai marmer yang membisu, mendekap gawai, seakan sedang memeluk tubuh anakku yang terluka. Tangisku pecah. Di balik pintu itu, suamiku sedang bertaruh nyawa, dan kini di ujung telepon, anak-anakku tengah butuh aku.
Dengan tangan bergetar, kuhubungi ibu kos yang baru kukenal. "Ibu... tolong saya., anak saya jatuh dari motor. Mohon lihat keadaan mereka. Jika parah, mohon segera dibawa ke rumah sakit. Suami saya sedang opname, saya tidak bisa ke Semarang." Ibu kos merespons dengan sangat baik. Ia menengok dan menanyakan keadaan anakku.
Menit-menit berikutnya adalah penantian yang lebih tajam dari sembilu. Hingga pesan WhatApps dari ibu kos datang, berupa sebuah foto. Ya Allah, Alhamdulillah, aku terduduk lemas karena lega. Anak-anakku masih dalam lindungan-Nya. Mereka hanya lecet-lecet kecil. Aku membasuh muka, menghapus jejak badai di wajahku. Suamiku sengaja tidak aku beri tahu kejadian tersebut. Aku harus merelakan diri terkoyak dan tetap bisa berdiri kokoh. Biarlah beban ini kupikul sendiri, asalkan ia tetap tenang dalam istirahatnya.
Hari-hari berikutnya kulewati dengan air mata dan doa. Akhirnya, dengan bismillah, kutandatangani persetujuan hemodialisis. Hari pertama suamiku hemodialisis adalah hari paling berat. Mesin berdengung, selang-selang mengalirkan darah, dan aku duduk di sana, tak berhenti menangis. Namun di ruang itu pula aku belajar berharap. Kulihat pasien lain dan penunggu pasien tersenyum dan kelihatan tanpa beban. Beberapa orang bercanda. Kutemui juga perawat-perawat yang begitu ramah. Hidup rupanya masih bisa berjalan, bahkan ketika darah harus keluar-masuk mesin.
Sejak hari itu, rumah sakit menjadi rumah kedua. Seminggu dua kali, bahkan kadang lima kali aku berada di sana. Koridor sepi, kursi roda, malam-malam panjang menjadi temanku. Aku belajar kuat, meski sering rapuh. Di luar aku tampak tegar, di dalam aku sering menangis sendiri. Hidup menjadi perjalanan antara senja dan subuh. Ada lelah, ada luka, tapi selalu ada doa. Dan selama doa masih kupanjatkan, aku percaya Allah tak pernah salah menulis takdir.
Bagas, Bagus, dan Nisa adalah butir-butir embun yang menghidupkan jiwaku. Tetaplah berpijar menjadi lentera di tengah pekatnya dunia. Ketahuilah, meski kaki Ibumu sering kali gemetar dihantam badai dan tertatih di atas duri kehidupan, ibu akan tetap berdiri tegak untuk kalian. Sebab cinta seorang ibu adalah matahari yang abadi, ia tak pernah benar-benar pergi, hanya sesekali bersembunyi di balik awan untuk terus memelukmu dengan hangatnya doa, menjaga langkahmu dari setiap saat. Ibu tak akan tumbang sebelum melihat kalian bersinar. Cinta seorang ibu tak kenal pamrih, tetap setia menyiramkan kasih, bahkan saat dirinya sendiri tenggelam dalam kesunyian senja.
Senja masih sering datang berwarna jingga. Mesin hemodialisis masih berdengung. Anak-anakku tumbuh, belajar mandiri, belajar jatuh dan bangkit. Hidup bukan tentang menghindari luka, melainkan berjalan sambil membawa luka itu dengan penuh doa. Sebab manusia hanyalah pengelana yang menapaki garis takdir yang telah terlukis rapi. Sehelai daun yang gugur pun tak pernah salah jatuh atau keliru memilih bumi, semuanya tunduk dalam dekapan ketentuan Allah. Tak ada kebetulan yang tersesat, setiap duka, tawa, dan air mata adalah benang-benang hikmah yang ditenun oleh tangan-Nya. Tak ada kebetulan yang tersesat di semesta ini, karena setiap duka dan doa adalah benang-benang hikmah yang ditenun indah oleh tangan-Nya. Setiap langkah adalah bagian dari rencana-Nya yang Maha Sempurna.
Magelang, 22 Desember 2025