Minggu, 28 Desember 2025

Senja dan Hemodialisis (S.W. Rochmah)

 

(Setiap baris kalimat dalam cerpen 'Senja dan Hemodialisis' ini bukanlah sekadar fiksi yang lahir dari imajinasi. Meski tidak terlalu mendetail, cerpen ini merupakan serpihan kenangan nyata yang pernah kualami beberapa tahun silam. Jejak-jejak peristiwa yang masih berdenyut hangat di dalam ingatanku. Sebuah masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi, yang mengajariku arti ketabahan. Kisah ini tetap kusimpan dengan rapi dalam kotak kenangan, sebagai pengingat bahwa berbagai peristiwa pernah berjalan beriringan dalam hidupku.)

****************

Senja merona jingga, seperti kain sutra yang dibentangkan langit dengan hati-hati. Angin berembus pelan, menyentuh daun-daun mangga di samping rumah, seolah ikut menenangkan degup jantungku yang tak beraturan. Aku duduk di teras samping rumah, memeluk gawai dengan kedua tangan yang dingin. Jantungku berdegup seperti genderang perang, tak henti, tak sabar, dan tak memberi ruang untuk tenang.

Hari itu, hari pengumuman Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT).  Dua anak kembarku, Bagas dan Bagus,  berkumpul bersama teman-teman SMA mereka di rumah Bayu. Mereka sepakat membuka pengumuman bersama, berbagi harap, berbagi cemas, berbagi takdir. Kata mereka, agar bahagia tak ditanggung sendirian, dan sedih tak dipikul sendirian. Aku paham, tetapi seorang ibu selalu punya cara sendiri untuk cemas, menunggu dalam diam, berharap dalam doa, dan takut dalam bayang-bayang.

Berkali-kali kulirik layar gawai. Sunyi. Tak ada bunyi. Tak ada pesan. Hanya detik yang berjalan lamban, seperti kura-kura kelelahan.

Lalu
Ting… ting…

Dadaku seketika berdebar. Pesan masuk. WhatsApp dari Mama Bayu.

Tanganku gemetar saat membuka pesan itu. “Alhamdulillah… Bagas dan Bagus diterima SNBT. Semua anak yang berkumpul di sini juga diterima PTN.”

Air mata yang menggantung akhirnya jatuh satu per satu, membasahi pipi. Syukurku tumpah ruah, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Segera kuhubungi Bagas dan Bagus lewat panggilan video. Wajah mereka muncul di layar, dua wajah yang sama, dua senyum yang serupa, dua mata yang identik.

“Benar, Ma,” kata mereka hampir bersamaan. Bagus diterima di Undip, Bagas di UNNES. Satu kota, dua kampus, satu mimpi yang terus beriringan. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.

Memiliki anak kembar adalah anugerah yang tak terperi. Sekali mengandung, Allah memberiku dua nyawa sekaligus. Banyak orang bilang itu rezeki yang luar biasa, dan aku mengangguk setuju. Bagas dan Bagus adalah kembar identik. Wajah mereka bagai pantulan cermin. Sejak kecil mereka nyaris tak pernah bertengkar. Tak berebut mainan, tak iri soal perhatian. Ke mana pun pergi, selalu berdampingan, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Mereka memiliki satu rasa. Satu empati yang kuat. Jika hanya satu yang mendapat hadiah di sekolah dari lomba atau peringkat rapor, hadiah itu tak akan dipakai. “Nanti adik sedih,” kata Bagas. Atau, “Kasihan kakak,” kata Bagus. Aku sering terdiam mendengar itu. Anak-anak kecil yang mengajarkan arti keadilan dan empati.

Karena itu aku tak sanggup membayangkan jika hanya satu dari mereka yang diterima PTN. Bukan yang gagal yang akan terluka paling dalam, melainkan yang berhasil. Sebab bahagia mereka selalu ingin utuh, tak setengah.

Dua hari setelah pengumuman, kami sekeluarga berangkat ke Semarang. Orientasi kampus dan mencari kos menjadi agenda utama. Tujuan pertama adalah kawasan Undip. Di tengah riuh rendah lalu lintas dan gedung-gedung besar nan megah, mataku tertuju pada selembar stiker yang menempel di tiang listrik. ‘Terima Kos Putra’, begitu tulisannya. Bagiku, itu bukan sekadar iklan, melainkan sepotong pesan kecil dari semesta yang sengaja dijatuhkan ke pangkuan kami.  Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera di stiker untuk memastikan alamat.

Kos itu berada di Perumahan Bukit Diponegoro. Kami menyusuri jalan menuju Perumahan Bukit Diponegoro. Seketika, hiruk-pikuk kota seolah tertelan bumi, berganti dengan harmoni alam yang menenangkan. Udara terasa dalam pelukan embun, segar dan jernih. Pohon-pohon rindang berdiri seperti barisan penjaga kampus. Sementara di lahan luas milik kampus, sapi-sapi merumput dengan dengan santai, tak terusik oleh ambisi manusia.

Bagus, dengan binar mata yang tenang, langsung menjatuhkan pilihannya. “Di sini saja, Ma,” ucapnya lembut. Hatiku menghangat. Anakku yang satu ini memang serupa air, ia tak pernah memberontak pada wadahnya, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

Namun, pencarian di sekitar UNNES menjadi cerita yang berbeda. Kami harus beradu dengan terik matahari dan debu jalanan demi mencari satu syarat mutlak, kamar mandi dalam. Berjam-jam kami berputar, menembus labirin gang, hingga akhirnya takdir mempertemukan kami dengan sebuah bangunan yang baru saja selesai dipoles cat. Aroma semen yang baru kering masih tercium tipis. Bagas menjadi penghuni pertamanya.

Berbeda dengan kesunyian kos Bagus, di sini denyut hidup terasa lebih kencang. Suara kendaraan, aroma masakan dari warung-warung sekitar, dan hiruk-pikuk mahasiswa menciptakan simfoni yang gegap gempita. Dua anak kembarku menempati dua suasana yang berbeda, memulai dua jalan hidup yang perlahan mulai memisahkan raga mereka, meski jiwa mereka tetap satu.

Persiapan berikutnya adalah menyiapkan barang. Semuanya harus dobel. Sprei, kipas angin,  perlengkapan mandi. Bahkan hal kecil seperti peniti, benang, jarum, cotton bud, dan gunting kuku pun aku siapkan. Aku menata semuanya rapi dalam dua koper besar. Tak boleh tertukar. Tak boleh salah. Tak boleh ada yang terlupa. Seperti menata masa depan mereka dengan penuh kehati-hatian.

Hidup tak selalu berjalan lurus. Dua hari menjelang keberangkatan mereka kuliah, suamiku jatuh sakit dan harus dirawat inap. Penyakit kronis yang selama diidapnya, diabetes dan hipertensi, kini merembet ke ginjal. Ginjalnya dinyatakan tak berfungsi. Sudah stadium lima! Vonis dokter jatuh seperti palu hakim, harus hemodialisis. Dunia terasa gelap. Langit seperti runtuh di atas kepalaku. Ruang hemodialisis adalah mimpi buruk bagiku. Bahkan melewati depannya saja membuat lututku lemas. Namun takdir tak bisa ditawar.

Hari Sabtu, tiga hari suamiku dirawat, anak-anakku harus berangkat ke Semarang. Aku tak bisa mengantar. Betapa perih rasanya. Seorang ibu yang seharusnya menggenggam tangan anaknya di gerbang awal masa kuliah, kini hanya bisa melepas dari kejauhan. Air mataku tumpah tak tertahankan. Kupeluk mereka erat di koridor rumah sakit. Beruntung, nenek, paman dan bibinya bisa mengantar. Mereka  belajar mandiri, sementara aku belajar ikhlas menghadapi ketentuan-Nya.

Malamnya, saat aroma obat memenuhi ruangan, tiba-tiba aku ingin menghubungi anakku. Aku keluar dengan berjinjit, menutup pintu kamar rawat inap agar tak mengusik suamiku.

"Assalamualaikum, Sayang. Bagaimana harimu?" bisikku.

Namun, jawaban suara Bagas terdengar parau. "Baik Ma. Hanya, kakak butuh tas. Tas kakak sobek.”

“Kok bisa sobek? Bukannya itu tas baru?”

“Iya, Ma. Hanya…,” Bagas tidak melanjutkan kata-katanya.

“Hanya apa, Kak? Jantungku tiba-tiba berdebar keras.

“Mmm... mmm... kami jatuh dari motor. Tasnya sobek. Motor adik rusak, Ma. Tadi kami boncengan ke kos adik untuk ambil barang. Karena belum paham jalan, kami tanya google maps, malah diarahkan melewati jalan curam dan kami jatuh," katanya pelan, nyaris tak terdengar.

Deg! Duniaku luruh. Kata-kata itu seketika melucuti seluruh kekuatan yang tersisa  dalam raga. Lututku mendadak kehilangan tumpuan, terasa lunglai bagai untaian benang yang terputus dari kaitan, hingga untuk sekadar berdiri pun aku kesulitan. Seluruh persendianku melemah, denyut jantung berdegup tak beraturan di tengah heningnya dunia yang tiba-tiba terasa berputar. Aku jatuh terduduk di lantai marmer yang membisu, mendekap gawai, seakan sedang memeluk tubuh anakku yang terluka. Tangisku pecah. Di balik pintu itu, suamiku sedang bertaruh nyawa, dan kini di ujung telepon, anak-anakku tengah butuh aku.

Dengan tangan bergetar, kuhubungi ibu kos yang baru kukenal. "Ibu... tolong saya., anak saya jatuh dari motor. Mohon lihat keadaan mereka. Jika parah, mohon segera dibawa ke rumah sakit. Suami saya sedang opname, saya tidak bisa ke Semarang." Ibu kos merespons dengan sangat baik. Ia menengok dan menanyakan keadaan anakku.

Menit-menit berikutnya adalah penantian yang lebih tajam dari sembilu. Hingga pesan WhatApps dari ibu kos datang, berupa sebuah foto. Ya Allah, Alhamdulillah, aku terduduk lemas karena lega. Anak-anakku masih dalam lindungan-Nya. Mereka hanya lecet-lecet kecil. Aku membasuh muka, menghapus jejak badai di wajahku. Suamiku sengaja tidak aku beri tahu kejadian tersebut. Aku harus merelakan diri terkoyak dan tetap bisa berdiri kokoh. Biarlah beban ini kupikul sendiri, asalkan ia tetap tenang dalam istirahatnya.

Hari-hari berikutnya kulewati dengan air mata dan doa. Akhirnya, dengan bismillah, kutandatangani persetujuan hemodialisis. Hari pertama suamiku hemodialisis adalah hari paling berat. Mesin berdengung, selang-selang mengalirkan darah, dan aku duduk di sana, tak berhenti menangis. Namun di ruang itu pula aku belajar berharap. Kulihat pasien lain dan penunggu pasien tersenyum dan kelihatan tanpa beban. Beberapa orang bercanda. Kutemui juga perawat-perawat yang begitu ramah. Hidup rupanya masih bisa berjalan, bahkan ketika darah harus keluar-masuk mesin.

Sejak hari itu, rumah sakit menjadi rumah kedua. Seminggu dua kali, bahkan kadang lima kali aku berada di sana. Koridor sepi, kursi roda, malam-malam panjang menjadi temanku. Aku belajar kuat, meski sering rapuh. Di luar aku tampak tegar, di dalam aku sering menangis sendiri. Hidup menjadi perjalanan antara senja dan subuh. Ada lelah, ada luka, tapi selalu ada doa. Dan selama doa masih kupanjatkan, aku percaya Allah tak pernah salah menulis takdir.

Bagas, Bagus, dan Nisa adalah butir-butir embun yang menghidupkan jiwaku. Tetaplah berpijar menjadi lentera di tengah pekatnya dunia. Ketahuilah, meski kaki Ibumu sering kali gemetar dihantam badai dan tertatih di atas duri kehidupan, ibu akan tetap berdiri tegak untuk kalian. Sebab cinta seorang ibu adalah matahari yang abadi, ia tak pernah benar-benar pergi, hanya sesekali bersembunyi di balik awan untuk terus memelukmu dengan hangatnya doa, menjaga langkahmu dari setiap saat. Ibu tak akan tumbang sebelum melihat kalian bersinar. Cinta seorang ibu tak kenal pamrih, tetap setia menyiramkan kasih, bahkan saat dirinya sendiri tenggelam dalam kesunyian senja.

Senja masih sering datang berwarna jingga. Mesin hemodialisis masih berdengung. Anak-anakku tumbuh, belajar mandiri, belajar jatuh dan bangkit. Hidup bukan tentang menghindari luka, melainkan  berjalan sambil membawa luka itu dengan penuh doa. Sebab manusia hanyalah pengelana yang menapaki garis takdir yang telah terlukis rapi. Sehelai daun yang gugur pun tak pernah salah jatuh atau keliru memilih bumi, semuanya tunduk dalam dekapan ketentuan Allah. Tak ada kebetulan yang tersesat, setiap duka, tawa, dan air mata adalah benang-benang hikmah yang ditenun oleh tangan-Nya. Tak ada kebetulan yang tersesat di semesta ini, karena setiap duka dan doa adalah benang-benang hikmah yang ditenun indah oleh tangan-Nya. Setiap langkah adalah bagian dari rencana-Nya yang Maha Sempurna.

 

Magelang, 22 Desember 2025

 


Jumat, 26 Desember 2025

Untuk Lenteraku (S.W. Rochmah)

 

Aku menaruh namamu

pada setiap lipatan napasku,

seperti embun yang disembunyikan pagi

agar matahari tak cemburu

pada cinta yang tumbuh tanpa syarat


Mimpiku kugulung rapat, kulangitkan pada-Nya

kutanam diam-diam di dadaku

agar kakimu tumbuh kuat dan angin tak mudah menjatuhkanmu

saat menapak hari yang belum ramah padamu


Namamu kusematkan pelan

di sela doa-doa yang kupanjatkan

kutitipkan pada-Nya

seperti menitipkan cahaya pada semesta raya

agar tetap menyala di jalan nan panjang


Kelak, saat suaraku tinggal gema

di rimbun ingatan

ingatlah, kasih ibu tak pernah usai

ia hanya berganti rupa menjadi hujan restu

yang jatuh pelan, setia, dan abadi


Aku adalah teduh

tempat kau mengadu tanpa takut

sebab di dadaku, segala luka belajar sembuh



                                                           (Magelang, 22 Desember 2025)

Lazuardi yang Retak (S.W. Rochmah)

(Cerpen 'Lazuardi yang Retak'  terinspirasi dari kisah nyata seorang petinggi negeri yang mengkhianati cinta istrinya. Tirai dusta tersingkap. Air mata istri menjadi ombak besar yang menenggelamkannya, hingga mengubah wibawa menjadi gunjingan massa.)

*************** 

Matahari sore itu tampak seperti kuning telur yang pecah di atas wajan langit. Senja di ufuk barat meledak bagai luka yang baru saja disayat sembilu. Warna jingganya tidak lagi terasa hangat, melainkan merona merah keunguan seperti lebam di sekujur langit, sebuah cerminan sempurna dari hati Safira yang sedang berkeping-keping. Matahari yang tenggelam seolah menyeret seluruh harapannya ke dalam liang gelap, meninggalkan cakrawala yang berdarah. 

Di kota ini, suaminya, Firdaus, merupakan seorang pria dengan karisma yang sempurna. Ia memiliki senyum yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan siapa pun serta tutur kata yang mengalir tenang, sarat akan kecerdasan. Kehadirannya bagai magnet yang tak kasat mata; ia tidak perlu berteriak untuk didengar, karena karismanya yang tenang sudah cukup untuk membuat seisi ruangan tertuju padanya.

Namun sore itu, semesta Safira berhenti berputar  saat sebuah notifikasi masuk. Awalnya hanya satu, lalu menjadi ribuan. Sebuah video amatir berdurasi sepuluh detik menyebar secepat api melalap ilalang kering. Di sana, di sebuah hotel di sudut Jakarta, Firdaus tampak berjalan  menuju lift  bersama seorang wanita yang bukan Safira, bukan pula wanita yang pernah mengaku memiliki  buah hati denganya. Wanita itu seorang artis yang cukup ternama. Tangan mereka bertautan, sebuah keintiman yang tidak bisa dibantah oleh retorika politik mana pun.

Selama dua puluh sembilan tahun pernikahan, Safira merupakan istri yang berbakti. Ia tiang penyangga saat Firdaus jatuh, dan menjadi pemandu sorak paling keras saat Firdaus mendaki puncak karier sebagai pejabat publik. Publik mengenal mereka sebagai pasangan ideal, relationship goals, kata anak muda sekarang.

Safira merasa jantungnya seperti dihantam gada raksasa. Dunianya yang selama ini tertata rapi, mendadak jungkir balik. Rahasia yang disimpan Firdaus di balik karisma dan kecerdasannya akhirnya terendus  oleh tajamnya lensa kamera netizen.

***

"Ibu, istirahat dulu," Bi Rohmah, asisten rumah tangganya, mendekat dengan wajah cemas. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Seluruh staf di rumah dinas itu sudah tahu. Kabar buruk memiliki sayap yang lebih cepat daripada cahaya.

Safira hanya menggeleng. Tenggorokannya terasa tersumbat batu kali. Ia ingin menangis, tapi matanya terasa kering dan perih. Ia teringat bagaimana Firdaus selalu memujinya sebagai mutiara hidupnya. Sekarang, ia merasa mutiara itu telah dilemparkan ke dalam kubangan lumpur.

Malam itu, Firdaus pulang. Suara langkah sepatunya di lantai marmer yang biasanya terdengar gagah, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi Safira. Firdaus masuk ke kamar dengan wajah kusam. Ia tidak langsung mendekat, hanya berdiri di ambang pintu, menatap Safira yang duduk mematung di pinggir tempat tidur.

"Safira, itu tidak seperti yang terlihat. Media hanya membesar-besarkan," suara Firdaus parau.

Safira menoleh. Sorot matanya yang biasanya teduh kini sedalam sumur mati. "Sudah berapa lama, Mas?  Jangan katakan itu hanya kesalahpahaman. Ini bukan yang pertama. Mata tidak bisa berbohong, dan video itu bicara lebih jelas dan keras daripada ribuan pidatomu."

Firdaus mencoba mendekat, hendak menyentuh bahu Safira, namun Safira menghindar seolah sentuhan itu adalah racun.

"Mas, aku ini istrimu, bukan rakyatmu yang bisa kau bujuk dengan janji-janji manis saat kampanye," ucap Safira lirih namun tajam. "Aku selama ini mengharapkan kesetiaan darimu, sementara kau membagi hatimu di tempat lain, pada hati yang lain."

"Aku khilaf, Safira. Wanita itu hanya teman bicara," Firdaus membela diri, sebuah pembelaan yang terdengar seperti menegakkan benang basah. Mustahil untuk dipercaya. 

Safira berdiri mematung, mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Firdaus. Pembelaan suaminya itu terdengar seperti nyanyian sumbang di tengah padang gersang. Kosong dan menyakitkan. Setiap alasan yang dilemparkan Firdaus terasa bagai embun di ujung rumput, begitu rapuh dan cepat menguap. Safira menatap pria itu dengan rasa asing; ia melihat Firdaus sedang merangkai kebohongan demi kebohongan untuk menambal harga dirinya yang sudah bocor. Di telinga Safira, suara Firdaus bukan lagi musik yang menenangkan, melainkan derit pintu tua yang dipaksakan tertutup, sementara di dalamnya, segalanya sudah hancur berkeping-keping.

Keesokan harinya, badai itu tidak mereda. Justru semakin mengganas. Nama Safira menjadi trending topic. Ada yang kasihan, ada yang mencibir, dan ada yang menunggu reaksi ‘Sang Ibu Peri.’

Dengan berlinang air mata, Safira mengunci diri di kamar. Ia melihat foto-foto lama mereka. Foto saat mereka merintis karier dari nol, saat makan mi instan berdua di kontrakan sempit, hingga saat Firdaus dilantik. Semuanya terasa seperti fatamorgana sekarang. Setelah ia memberikan masa mudanya, kecantikannya, dan seluruh energinya untuk mendukung karier Firdaus, inilah balasannya. Safira memang terlihat tenang di luar, tapi di dalamnya, ada tsunami yang bergolak.

Selama seminggu, Safira tidak muncul ke publik. Sementara itu untuk mengembalikan kepercayaan publik, Firdaus mencoba mengunggah foto-foto kemesraan lama mereka di media sosial, namun netizen tidak bodoh. Komentar-komentar pedas membanjiri akun Firdaus. Citra ‘pemimpin keluarga teladan’ itu runtuh sekejap mata.

***

Di sepertiga malam terakhir, Safira bersujud. Di atas sajadah berwarna biru langit itu, ia menumpahkan segala sesaknya. Ia sadar, selama ini ia mungkin terlalu mendewakan Firdaus. Ia lupa bahwa Firdaus hanyalah manusia biasa, yang bisa berkhianat dan bisa khilaf. Ia harus menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ia tidak boleh hancur hanya karena ulah satu orang pria, meskipun pria itu adalah suaminya.

Kala fajar menyapa, Safira segera menghubungi pengacara keluarganya tanpa sepengetahuan siapa pun. Langkah kakinya tak lagi gontai; ia bukan lagi sosok yang mudah rapuh saat diterjang badai. Jiwanya telah ditempa oleh pahitnya pengkhianatan. Ia menyadari sepenuhnya bahwa meski memaafkan adalah puncak dari segala kemuliaan, tetapi membiarkan diri terperangkap dalam pengkhianatan adalah sebuah kebodohan yang teramat sangat. Baginya, martabat adalah benteng terakhir yang tak boleh runtuh, karena ia tahu betul bahwa lebih baik hidup dalam kesendirian yang terhormat daripada berada dalam pernikahan yang penuh dengan dusta.

***

Sore itu, Firdaus kembali mengajak bicara. Kali ini di taman belakang, di bawah pohon kamboja jepang yang sedang meranggas.

"Safira, demi karierku, demi anak-anak, bisakah kita lupakan ini? Aku akan memutuskan hubungan dengannya. Kita buat pernyataan bersama bahwa video itu hanya editan atau salah paham," bujuk Firdaus dengan nada manipulatif.

Safira menatap suaminya dengan tatapan yang sangat asing. Ia melihat pria di depannya bukan lagi sebagai kepala keluarga, melainkan sebagai orang asing yang egois.

"Mas, kau lebih peduli pada elektabilitasmu daripada hatiku yang hancur?" Safira tersenyum pahit. "Kau mengejar kesenangan sesaat dan sekarang kau takut kehilangan takhtamu?"

"Bukan begitu, Safira..."

"Cukup, Mas. Aku sudah mengambil keputusan. Lebih baik aku hidup sendiri dengan harga diri yang utuh."

Safira menyodorkan sebuah map cokelat. Di dalamnya terdapat berkas gugatan cerai. 

Firdaus terperangah. Wajahnya pucat pasi, darah seolah surut dari wajahnya. "Kau serius? Ini akan menghancurkan segalanya!"

"Tidak, Mas. Ini bukan tentang menghancurkanmu, tapi ini tentang menyelamatkanku dan anak-anak. Aku tidak ingin lagi menjadi sekadar bunga pajangan yang layu di dalam vas emas, hanya ada untuk mempercantik citramu di mata dunia, sementara di balik itu kau terus menggoreskan luka  tak berdarah yang sangat perih. Selama ini aku diam bukan karena buta, tapi karena aku percaya pada janjimu yang ternyata hanya semu. Aku menolak untuk terus hidup dalam kepura-puraan, menjadi tameng bagi kesalahanmu sementara hatiku Mas injak-injak. Aku tidak akan membiarkan diriku mati perlahan dalam kebohongan yang dibungkus dengan kata demi kebaikan bersama."

Firdaus terperangah, wajahnya yang biasanya merah merona penuh wibawa seketika pucat pasi. Ia terhuyung,  kata-kata Safira bagai peluru  yang tepat menghujam ulu hatinya. Tangannya yang biasa menggenggam mikrofon dengan kokoh kini gemetar hebat saat mencoba meraih jemari Safira.

"Safira... kau tidak bisa melakukan ini," bisik Firdaus, suaranya parau dan pecah, hilang sudah artikulasi sempurna sang orator ulung. "Kau adalah jiwaku, penyangga takhtaku. Jika kau pergi, aku hanyalah pohon yang tumbang sebelum angin badai menerjang. Jika dunia tahu kita berpisah karena ini, habislah semua yang aku bangun selama ini!"

Ia menatap Safira dengan pandangan memelas, mencoba menggunakan sisa-sisa karismanya untuk membujuk. Namun, ia melihat di mata istrinya bukan lagi pemujaan, melainkan kekosongan yang dingin. Firdaus menyadari bahwa ia telah menabur angin, dan kini ia harus menuai badai. Keangkuhannya runtuh, pria yang biasa dipuja ribuan orang itu kini tampak kecil dan malang di depan wanita. Ia sadar, benteng kekuasaan yang ia bangun setinggi langit ternyata berdiri di atas pasir yang kini telah lumat.

***

Berita gugatan cerai Safira meledak melebihi berita perselingkuhan Firdaus. Safira memilih untuk muncul di depan media satu kali saja. Tanpa air mata, tanpa drama. Ia mengenakan kebaya putih bersih, simbol kesucian niatnya yang baru.

"Saya mencintai pernikahan saya," ucapnya di depan puluhan mikrofon yang haus berita. "Tapi saya lebih mencintai diri saya dan martabat saya sebagai wanita. Nasi sudah menjadi bubur, tapi saya akan memastikan bubur itu tetap bisa dinikmati dengan cara yang nikmat dan terhormat."

Ia tidak menjelekkan Firdaus. Ia hanya mengatakan bahwa jalan mereka sudah berbeda. Safira memilih untuk mundur dari panggung politik suaminya dan kembali ke dunia pendidikan yang sempat ia tinggalkan. Firdaus? Kariernya perlahan meredup. Rakyat kehilangan kepercayaan pada pria yang tidak bisa setia pada janji sucinya. 

***

Kini, Safira  terlihat lebih segar dan hari-harinya lebih berwarna. Hatinya memang pernah hancur berkeping-keping. Ia telah menjelma menjadi sebuah karya kintsugi yang hidup; setiap retakan lukanya tidak lagi disembunyikan dalam malu, melainkan direkatkan kembali dengan emas keberanian yang membuatnya tampak jauh lebih kuat dan bersinar.  Safira telah sampai pada sebuah pemahaman agung, bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak bisa hancur. Ia mempunyai kemampuan luar biasa untuk memungut puing-puing diri yang berserakan, lalu menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang lebih indah dan bermartabat. 

Ia tersenyum ke arah cakrawala. Lazuardi di hatinya telah retak. Namun melalui celah retakan itulah cahaya kebenaran masuk menyinari jiwanya hingga ia menjadi jauh lebih bercahaya dan berharga daripada sebelum badai itu datang menghampiri.

                               Magelang, 19 Desember 2025