Senin, 20 Januari 2020

Contoh Mosi Debat untuk SMA (S.W. Rochmah_SMANTID)




1. Kesenian tradisional sudah tertinggal zaman
2. Media sosial dapat membantu komunikasi lintas budaya 
3. Pemerintah mengharuskan tim sepakbola nasional menyertakan putra daerah
4. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan hidup
5. Pelajar diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor
6. Pemerintah meyakini bahwa penggusuran PKL dapat meningkatkan estetika dan Kenyamanan kota.
7. Implementasi isi Sumpah Pemuda pada aspek kebahasaan pada saat sekarang mendorong bangsa Indonesia menutup diri terhadap globalisasi. 
8. Pemberian hukuman fisik memberikan peluang peserta didik memiliki kedisiplinan. 
9. Kebebasan berpendapat yang disalurkan melalui media sosial baik, cetak, elektronik, maupun internet semakin mengikis budaya santun bangsa Indonesia
10. Kebijakan pembangunan ekonomi saat ini tidak berpihak kepada masyarakat kelompok bawah
11. Koruptor kelas kakap wajib dihukum mati

Dasar Iblis (S.W. Rochmah_SMANTID)

kutepiskan tangan  iblis yang tak tahu malu meraih mahkotaku
dasar iblis...
tak juga  menarik tangan yang belepotan penuh  najis
terus saja tangannya menggapai-gapai 
mengais-ngais
dan kian lama, 
bukan cuma tangannya yang penuh najis
mulut 
isi kepalanya
dan
gerakan jari belepotan najis

Jatuhlah kau dalam jurang yang kaugali sendiri
yang terlalu jumawa dengan dirimu

                                
                                          Magelang, 21 Januari 2020

Selalu Ada Sisi untuk Disyukuri (s.w.rochmah_SMANTID)


Senja merona jingga. Aku duduk di teras samping rumah dengan hati deg-degan menantikan pengumumam SBMPTN 2018 dua anak kembarku, Yoga dan Yogie. Anakku dan teman-temannya hari itu  sedang berada di rumah Gafna, teman SMA-nya. Mereka memang sering mengadakan acara bersama. Kali ini membuka pengumuman SBMPTN bersama. Berkali-kali kulirik gawai di depanku. Menanti notifikasi dari mereka. Ting…ting… Segera kubuka gawaiku. WhatsApp dari mama Gafna yang mengabarkan bahwa Yoga dan Yogie diterima SBMPTN. Demikian juga anak-anak yang sedang berkumpul di sana semua diterima di PTN.  Segera aku VC Yoga dan Yogie, aku konfirmasikan berita itu. Alhamdulillah, dua-duanya diterima di PTN di Semarang meski berbeda perguruan tinggi. Yogie di Undip dan Yoga di UNNES. Air mata bahagiaku pun menetes. Terima kasih, ya Allah.
Memiliki anak kembar merupakah berkah luar biasanya bagiku. Sekali hamil, dapat dua anak. Banyak orang yang memberikan perhatian lebih pada anak kembar. Mereka sering diperbandingkan, terutama dari segi fisik. Kebetulan anakku kembar identik. Wajah mereka sangat mirip. Aku bersyukur, sejak kecil mereka sangat akur, hampir tidak pernah meributkan atau berebut sesuatu. Ke mana pun mereka selalu bersama. Dan kini, dua-duanya diterima SBMPTN di satu kota, Semarang. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana perasaan mereka jika  salah  satu saja yang diterima. Pasti ada rasa tidak nyaman. Bukan dari yang tidak diterima, tetapi justru dari yang diterima. Satu rasa mereka sangat kuat. Tidak ingin kembarannya tidak nyaman. Sejak SD sampai SMA, bila hanya salah satunya mendapat hadiah dari sekolah atau guru, hadiah itu tidak mereka pakai. Alasannya karena hadiahnya hanya satu.
Segera kupersiapkan semua kebutuhan anak-anakku. Dua hari setelah pengumuman SBMPTN, segera kami sekelurga ke Undip dan UNNES untuk orientasi kampus dan mencari tempat kos. Pertama kami ke Undip. Tak sengaja kami melihat tulisan yang tertempel di tiang listrik tentang  tempat kos putra. Segera kami hubungi nomor telepon tersebut. Kos itu terletak di belakang kampus Undip yaitu Perumahan Bukit Diponegoro.  Tempat itu relatif sepi namun udaranya segar karena pohon-pohon rindang ada di sekitarnya. Bahkan suasananya seperti di pedesaan. Menuju ke perumahan itu terlihat banyak sapi yang dibiarkan merumput di lahan kosong yang luas milik Undip.  Begitu melihat kamar kos, Yogie langsung bersedia kos di situ. Anakku memang tidak pernah rewel terhadap sesuatu.
Setelah itu kami segera menuju UNNES. Mencari kos di sekitar UNNES yang kamar mandi dalam  lebih sulit daripada di Undip. Setelah berjam-jam bertanya ke sana ke mari, kami menemukan kos putra dengan kamar mandi dalam. Kebetulan kos itu baru dibuka, dan Yoga yang menempati pertama kali. Berbeda dengan kos Yogie yang sepi, kos Yoga berada di keramaian padat penduduk, berdekatan dengan warung-warung. Alhamdulillah, urusan kos selesai.
Persiapan berikutnya adalah barang-barang yang akan akan dibawa ke kos. Aku harus menyiapkan dobel untuk semua barang. Berhari-hari kami menyiapkan barang kebutuhan anak kos. Dari sprei, kipas angin,  keperluan pribadi, bahkan sampai keperluan kecil seperti cotton bud, peniti, dan gunting kuku pun kami persiapkan. Baju, celana, kaus, dan perlengkapan lain untuk ospek dan kuliah nanti pun sudah kami persiapkan. Semua aku tata dalam dua tempat dan dua koper besar, jadi waktu dibawa ke Semarang nanti barang-barangnya tidak tertukar. Aku persiapkan pula sewa mobil bak terbuka untuk mengangkut barang-barang dan 2 motor. Sementara nanti kami mengendarai mobil lain. Alhamdulillah, urusan barang beres.
Dua hari menjelang anak kembarku masuk kuliah, suamiku sakit dan harus rawat inap. Suamiku memang mempunyai penyakit kronis, tensi tinggi dan 16 tahun terkena diabetes. Waktu itu sudah 5 tahun suntik insulin 24 unit sehari. Dari hasil pemeriksaan dokter dan laboratorium menyatakan bahwa ginjal suamiku sudah tidak bisa berfungsi dengan semestinya. Vonis dokter adalah sakit ginjal stadium 5 dan harus cuci darah! Gelap terasa hidupku. Satu sisi harus mengurus anakku yang akan berangkat kuliah untuk pertama kali, satu sisi harus mengurus suami yang sakit. Pada dokter pun aku menawar, kalau bisa diberi obat dengan maksimal dulu, tidak usah cuci darah. Bagiku ruang cuci darah sangat menakutkan. Jangankan masuk ruangan, di lewat depan ruang pun sudah membuatku tergidik.
Saat tiga hari suami berada di RSU, hari Minggu itu, anakku harus berangkat ke Semarang. Beruntung semua sudah kusiapkan. Beruntung pula ibu mertua dan  adik iparku serta istrinya bisa mengantar ke Semarang. Betapa berat saat itu, air mataku membanjir melepas kepergian mereka menuntut ilmu (saat kutulis ini pun, air mataku mengalir). Saat yang harusnya diantar orang tua menuju tempat belajar barunya, ternyata mereka harus sendiri, belajar mandiri menghadapi takdir Illahi. Dengan air mata, kupantau terus keadaan mereka. Yogie diantar lebih dulu, baru Yoga. Mereka sudah sampai kos masing-masing. Lega menyeruak dalam dada. 
Sehabis magrib, Yoga dan Yogie kutelepon. Ingin kupastikan mereka nyaman dan aman. Yoga  mengatakan minta tas baru karena tasnya sobek karena jatuh. Bagaimana  mungkin tas di dalam bagasi mobil bisa jatuh. Kudesak agar dia bercerita apa yang terjadi. Aku sangat paham sifat anak-anakku, mereka tidak akan bercerita tentang hal-hal membuatku sedih.  Dengan terbata-bata dia cerita, kalau dia dan adiknya tadi jatuh dari motor. Mereka berboncengan mengembalikan  speaker Yogie yang lupa diturunkan di kosnya. Karena belum hafal jalan, mereka mengandalkan google map untuk menuju lokasi. Ternyata jalan yang ditunjukkan sangat curam. Naik turun tajam. Karena belum menguasai medan, motor mereka oleng dan terjatuh. Mendengar berita itu atau langsung keluar kamar tempat opname suami untuk memastikan keadaan mereka. Aku tidak mau suamiku melihatku menangis, apalagi mendengar berita ini. Ya Allah, baru setengah hari mereka di Semarang, sudah jatuh dari motor. Sambil bertelepon dengan Yoga, air mataku membanjir, tak kupedulikan perawat dan orang-orang yang lalu lalang di sekitarku. Segera aku telepon  ibu kos, meminta tolong melihat keadaan mereka. Kalau memang diperlukan mereka dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Kutelepon adik iparku yang  mengantar ke Semarang. Kuminta dia memastikan keadaan anak-anak. Aku tidak bisa berlama-lama meninggalkan suami di kamar sendiri.   Alhamdulillah, aku sedikit tenang karena Yoga baik-baik saja dan Yogie hanya lecet di kaki.
Malam itu malam yang paling berat bagiku. Bagai tertimpa benda ribuan  ton. Ingin rasanya aku bergegas melihat keadaan anakku, memeluknya, mengobatinya, membesarkan hatinya. Namun aku tak mungkin meninggalkan suamiku dalam keadaan sakit di rumah sakit.  Ginjal stadium 5, napas tersengal-sengal, badan lemah tak berdaya. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa, semoga Allah selalu menjaga anak-anakku dan memberikan kesabaran bagi kami.
Pagi harinya, keadaan suamiku tidak kunjung membaik. Dokter menyarankan agar suamiku cuci darah (hemodialisa/HD). Obat yang diberikan selama di rumah sakit hanya menyembuhkan secara semu. Kalau mau sehat, jalan satu-satunya harus HD. Dokter dan perawat menjelaskan banyak hal tentang HD. Akhirnya, dengan mengucapkan bismillah aku tanda tangani persetujuan tindakan HD terhadap suamiku.
Hari berikutnya, 2 hari menjelang ulang tahun suamiku ke-50, tindakan HD-pun dilakukan. Ya Allah, betapa berat kurasa, terasa kiamat sudah datang. Gelap semuanya. Namun aku tak bisa berbuat banyak. Pasrah pada keadaan. Tangisku sepanjang suami HD pun tak bisa terbendung. Ruang yang amat kutakutkan, akhirnya kumasuki juga.
Sikap perawat yang baik dan ramah membuatku sedikit terhibur. Demikian juga keluarga pasien penunggu HD yang memberikan simpati kepadaku membuatku sedikit tenang. Kulihat sekelilingku, berjejer pasien yang sedang HD. Banyak di antara mereka yang kelihatan segar dan tidak kelihatan sebagai orang sakit. Bahkan sebagian besar mereka mengendarai motor atau mobil sendiri. Mereka kelihatan sangat akrab. Canda-canda mereka pun sesekali terdengar. Pasien dan perawat pun terlihat dekat. Ini membesarkan hatiku.
Selepas HD, kondisi suamiku semakin baik. Sesak napas hilang dan badan terasa lebih segar. Mungkin ini yang terbaik bagi suamiku. Dua hari kemudian, suamiku kembali HD bertepatan dengan ulang tahunnya. Ulang tahun yang dirayakan dengan beberapa suntikan dan aliran darah ke dalam mesin pencuci darah. Ulang tahun yang dirayakan di depan selang yang mengalirkan darah. Berat? Pasti. Namun inilah yang harus dijalani. Apa dayaku sebagai manusia selain menerima segala ketentuannya. Daun kering yang gugur dari pohonnya saja sudah tercatat di Lauh Mahfudz, apalagi takdirku dan keluargaku.
Kini sudah satu tahun  tiga bulan suamiku HD. Banyak cerita yang sudah aku alami. Rumah sakit seolah menjadi kantor ke dua bagiku. Seminggu  dua kali, bahkan bisa 4 kali aku mengantar suami ke rumah sakit, HD dan periksa. Opname sudah tak terhitung lagi. Tidur di rumah sakit sendiri menunggu suami opname, malam-malam berjalan sendiri di koridor rumah sakit yang sepi  pun sudah biasa bagiku. Mendorong kursi roda dari tempat parkir sampai ke ruang HD atau poliklinik pun juga sudah biasa bagiku. Menyetir kendaraan pada  malam hari, tengah malam, atau dini hari pun juga harus biasa. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan sabar. Bersyukur aku bisa membagi waktu antara bekerja dan mengurus suami. Meski sering harus berlari ke sana sini dengan gerak cepat.  Dalam segala situasi selalu ada sisi yang bisa disyukuri.
Aku harus kuat dan bisa menjalani semuanya. Walau sebenarnya aku tidak sekuat dan setegar yang orang-orang lihat. Bila di depan orang, aku berusaha terlihat sebagai orang yang tak punya masalah. Bila sendirian, aku  memikirkan keadaan yang terjadi dan air mataku  mengalir.  Bila orang bertanya aku jawab aku baik-baik saja. Aku harus berusaha menguatkan diri agar bahuku tetap kuat untuk dijadikan sandaran bagi suami dan ketiga anakku, SariYogaYogie. Ketiga anakku adalah permata bagiku. Tempat aku bersandar saat  tua nanti. Yang mendoakakan aku saat aku sudah meninggalkan mereka. Tetaplah kuat dan soleh solihah, anak-anakku. Aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik bagi kalian.


                                                                        Magelang, 26 Oktober 2019