Minggu, 24 Oktober 2021

Perbedaan Hikayat dan Cerpen (S.W. Rochmah_SMANTID)

 

Hikayat dan cerpen merupakan jenis prosa serta karya nonfiksi. Hikayat merupakan karya sastra lama, dan cerpen merupakan karya sastra baru.

1. Hikayat

Hikayat menceritakan keajaiban tokoh atau peristiwa yang bersifat fiktif. Hikayat menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utamanya.

Ciri hikayat:

  1. Tidak diketahui nama pengarang atau anonim.
  2. Ceritanya cenderung berlatar tempat kehidupan istana atau istana sentris.
  3. Mengandung nilai-nilai tradisional.
  4. Tokoh yang di dalamnya bisa satu orang atau lebih.
  5. Menggunakan pengulangan kata atau bahasa.
  6. Bersifat fiktif atau khayalan yang berlebihan.
  7. Umumnya berkisah tentang kebaikan melawan kejahatan.
  8. Menggunakan bahasa Melayu.
  9. Jumlah kata tidak dibatasi.
  10. Merupakan karya sastra lama.

 

2. Cerpen

Cerpen atau cerita pendek merupakan suatu prosa yang menceritakan suatu tokoh pada masa sekarang.

Ciri cerpen adalah:

  1. Adanya nama pengarang.
  2. Jumlah kata  sekitar 5.000-10.000.
  3. Latar tempatnya berkisar pada lingkungan di sekitar atau masyarakat.
  4. Mengandung nilai kehidupan.
  5. Kisah yang diceritakan lebih variatif.
  6. Menggunakan bahasa Indonesia.
  7. Merupakan karya sastra baru.

Perbedaan tersebut antara lain:

1. Waktu perkembangan dan Bahasa yang Digunakannya

Hikayat merupakan sastra lama yang lahir dan berkembang di era Melayu kuno, sehingga tidak heran jika bahasa yang digunakannya merupakan bahasa Melayu kuno. Untuk bisa membaca isi karya sastra ini, kita harus menerjemahkan terlebih dahulu bahasa Melayu tersebut.

Cerpen merupakan karya sastra yang lahir dan berkembang di era modern, sehingga bahasa yang digunakannya pun juga merupakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa utama bangsa Indonesia di era modern.

2. Nama Pengarang

Dalam hikayat, nama si pengarang tidak diketahui atau ananim, sehingga hikayat sering dianggap sebagai karya bersama atau karya milik warga sekitar. Sementara itu, nama pengarang cerpen bisa kita ketahui dengan mudah karena nama pengarang sering tercantum di bawah judul cerpen.

3.Jumlah Kata dan Latar Tempatnya

Jumlah kata pada hikayat cenderung bervariatif, bisa 5.000, 7.000, dan sebagainya. Adapun latar tempat yang dipakai hikayat biasanya hanya berkisar pada lingkungan atau kehidupan istana. Sementara itu, jumlah kata dalam cerpen biasanya dibatasi sekitar 5.000 atau 10.000 kata meskipun pada perkembangannya, jumlah kata tersebut bisa bertambah atau berkurang. Latar tempat yang digunakan cerpen iasanya berupa tempat atau lingkungan di kehidupan sehari-hari manusia. Meskipun begitu, cerpen juga bisa mengambil latar tempat selain yang disebutkan.

4. Tokoh dan Kisah yang Terkandung di Dalamnya

Tokoh yang terkandung di dalam hikayat biasanya bervariatif, entah itu satu orang ataupun bisa lebih dari itu. Adapun kisah yang terkandung di dalam hikayat biasanya hanya berkisah tentang kebaikan melawan kejahatan. Sementara itu, tokoh yang ada di dalam cerpen umumnya hanya berjumlah beberapa orang saja, namun berpusat pada satu orang. Kisah yang dikandung dalam cerpen bisa bervariatif, entah itu tentang kehidupan sehari-hari, kegelisahan manusia, petualangan, dan sebagainya.

(Dari berbagai sumber)

 

Rabu, 13 Oktober 2021

Hikayat Malim Deman (S.W. Rochmah_SMANTID)

Malim Deman adalah putera raja dari Bandar Muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya. Setelah besar, Malim Deman bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi ke rumah Nenek Kebayan untuk mendapatkan Puteri Bungsu dari kayangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang banyak, pergilah Malim Deman ke rumah Nenek Kebayan. Dengan bantuan Nenek Kebayan juga, ia berhasil mencuri baju layang Puteri Bungsu sehingga Puteri Bungsu tidak dapat kembali ke kayangan. Nenek Kebayan lalu mengawinkan mereka. 

Hatta, maka berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar. Jamuan makanan besar-besaran lalu diadakan. Malim Deman juga ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian, ayah Malin Deman gering, lalu mangkat. Sejak kematian ayahanda, Malim Deman lali memerintah negeri. Hingga akhirnya Puteri Bungsu pun melahirkan seorang anak yang diberi nama Malim Dewana. Akhirnya Malim Dewana besarlah, tetapi Malim Deman tetap tidak mau kembali ke istana melihat puteranya. Puteri Bungsu sangat masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan kembali baju layangnya. Maka, ia pun terbang kembali ke kayangan dengan anaknya, Malim Dewana. 

Sepeninggal Puteri Bungsu, barulah Malim Deman menyesal. Tujuh hari tujuh malam ia tidak beradu, tidak santap, leka dengan menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi men dapatkan istri dan anaknya kembali. Dengan susah payah, sampailah ia ke rumah Nenek Kebayan dan bertanya di mana diperoleh burung borak yang dapat membawanya ke kayangan. Sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek. Maka timbullah perkelahian antara keduanya. Mambang Molek tewas. Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia semula. Perkawinan dengan Puteri Terus Mata lalu diadakan. 

Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja yang sangat bijaksana lagi gagah berani. (Sumber: www.duniahikayat.com)

Hikayat (S.W. Rochmah_SMANTID)

Hikayat merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun dan berisi tentang kisah, cerita, dan dongeng. Hikayat merupakan cerita Melayu klasik yang menonjolkan unsur penceritaan berciri kemustahilan dan kesaktian tokoh-tokohnya. 

 

Ciri-ciri/karakteristik hikayat antara lain sbb.

1. Bersifat anonim, yaitu tidak diketahui secara jelas nama pencerita atau pengarangnya. Hal tersebut disebabkan cerita disampaikan secara lisan. 

 2. Mengandung hal-hal yang bersifat mustahil, yaitu hal yang tidak logis atau tidak bisa dinalar. 

 3. Menceritakan kesaktian tokoh-tokohnya. Selain kemustahilan, sering kita temukan kesaktian para tokoh dalam hikayat. 

4. Bersifat istanasentris, yaitu bertema dan berlatar kerajaan. 

5. Menggunakan banyak kata arkais/klise, seperti penggunaan kata syahdan, hatta, maka, alkisah, dan sebagainya. 

Contohnya sebagai berikut. 

a. Alkisah maka tersebutlah perkataan Batara Guru menitahkan Begawan Batara Narada dan Batara Indera. 

b. Syahdan maka Maharaja Darma Wangsa dan Arjuna membawa Begawan Batara Narada dan Batara Indera itu mendapatkan mayat Raden Samba Prawira diiringkan oleh segala raja-raja sekalian. 

 6. Menggunakan alur berbingkai/cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah di dalam cerita ada cerita lain.  

 

Nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam hikayat sebagai berikut. 

 1. Nilai religius (agama) yaitu nilai yang berkaitan dengan keyakinan seseorang. 

Misalnya berserah diri kepada Tuhan setelah berusaha dan memohon kepada Tuhan dengan berdoa dan bersedekah agar dimudahkan urusannya. 

2. Nilai moral yaitu nilai yang berkaitan dengan sikap baik dan buruk. Misalnya bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, dan menghormati pilihan hidup orang lain. 

 3. Nilai sosial yaitu nilai yang berkaitan dengan interaksi bersama orang lain. Misalnya membantu orang yang kesusahan dan tidak membedakan status seseorang. 

4. Nilai budaya yaitu nilai yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat. Misalnya mencari jodoh anak raja dengan sayembara, dan penentuan raja berdasarkan keturunan. 

5. Nilai pendidikan (edukasi). Misalnya kewajiban belajar ilmu agama sejak kecil. 

 (Dari berbagai sumber)

Kamis, 23 September 2021

Adverbia (S.W. Rochmah_SMANTID)

Adverbia adalah kata keterangan yang menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. Pada umumnya, adverbia digunakan sebagai pewatas. Perhatikan contoh di bawah ini.

  • Paman baru tiba di Jakarta.
  • Saya belum mengerjakan tugas.
  • Mama ingin sekali memiliki rumah gedongan.

Pada contoh pertama dan kedua, adverbia baru serta belum menjadi pewatas untuk verba tiba dan mengerjakan. Kedua verba tersebut merupakan inti.

Sementara itu, contoh ketiga memiliki dua adverbia. Ingin berdiri sebagai inti, sedangkan sekali adalah pewatasnya.

Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2017: 239), adverbia berdasarkan perilaku semantisnya dapat digolongkan menjadi delapan macam, yakni adverbia

  • 1.    kualitatif,
  • 2.    kuantitatif,
  • 3.    limitatif,
  • 4.    frekuentif,
  • 5.    kewaktuan,
  • 6.    kecaraan,
  • 7.    kontrastif, dan
  • 8.    keniscayaan.

 

1.   Adverbia Kualitatif

Adverbia ini digunakan untuk menyatakan makna yang berhubungan dengan derajat, tingkat, atau mutu. 

  • Udin paling suka minum kopi.
  • Nilai ujian matematika anak saya sangat bagus.
  • Ucapanmu lebih besar daripada nyalimu.
  • Akhir-akhir ini, kamu kurang perhatian.
  • Sejujurnya, aku agak tersinggung.

 

2.     Adverbia Kuantitatif

Berbeda dengan adverbia kualitatif, jenis ini menyatakan makna yang berhubungan dengan jumlah.

  • Jangan banyak minta!
  • Biaya yang ia keluarkan untuk perjalanan ini tidaklah sedikit.
  • Untuk menyelesaikan tugas ini, saya membutuhkan waktu kira-kira dua sampai tiga hari. 
  • Uang ini hanya cukup untuk kita makan selama dua pekan ke depan.

 

3.     Adverbia Limitatif

Adverbia ini bertujuan untuk menyatakan makna yang berhubungan dengan pembatasan.

  • Vaksin hanya untuk orang kaya.
  • Kami di rumah saja sewaktu tahun baru nanti.
  • Maaf, saya sekadar mengingatkan.

 

4.     Adverbia Frekuentatif

Adverbia frekuentatif menyatakan makna yang berhubungan dengan kekerapan.

  • Kami selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama-sama.
  • Indah sering lupa akan hari ulang tahunku.
  • Mereka sudah jarang berbicara.
  • Kadang-kadang, saya kagum dengan semangatmu itu.

 

5.    Adverbia Kewaktuan

Adverbia kewaktuan menyatakan makna yang berhubungan dengan terjadinya suatu peristiwa.

  • Aku baru mengerti maksudmu selama ini.
  • Kita harus segera berangkat.
  • Mama langsung menangis setelah mendengar berita itu.
  • Semoga pandemi lekas berakhir.

 

6.     Adverbia Kecaraan

Adverbia ini menyatakan makna yang berhubungan dengan proses terjadinya suatu peristiwa.

  • Aku diam-diam mengamatinya dari jauh.
  • Badrun akan menyusul secepatnya.
  • Pelan-pelan, dia membuka pintu kamar.

 

7.   Adverbia Kontrastif

Adverbia kontrastif adalah adverbia yang menyatakan pertentangan dengan hal atau makna kata yang disampaikan sebelumnya.

  • Sungguh saya tidak tahu apa-apa. Bahkan kalau kamu tidak minta, saya tidak akan datang ke sini.
  • Bukannya minta maaf, dia malah marah-marah sama saya!
  • Siapa bilang dia murah hati? Justru dialah koruptornya!

 8.  .  Adverbia Keniscayaan

Adverbia ini adalah adverbia yang menyatakan hubungan makna dengan kepastian akan terjadinya hal atau peristiwa.

  • Kita pasti bisa melewati masa-masa sulit ini.
  • Kita tentu tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang merugikan rakyat.

 

Rujukan:  Moeliono, Anton. M dkk. 2017. Tata Bahasa Baku Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.