(Cerpen 'Lazuardi yang Retak' terinspirasi dari kisah nyata seorang petinggi negeri yang mengkhianati cinta istrinya. Tirai dusta tersingkap. Air mata istri menjadi ombak besar yang menenggelamkannya, hingga mengubah wibawa menjadi gunjingan massa.)
***************
Matahari sore itu tampak seperti kuning telur yang pecah di atas wajan langit. Senja di ufuk barat meledak bagai luka yang baru saja disayat sembilu. Warna jingganya tidak lagi terasa hangat, melainkan merona merah keunguan seperti lebam di sekujur langit, sebuah cerminan sempurna dari hati Safira yang sedang berkeping-keping. Matahari yang tenggelam seolah menyeret seluruh harapannya ke dalam liang gelap, meninggalkan cakrawala yang berdarah.
Di kota ini, suaminya, Firdaus, merupakan seorang pria dengan karisma yang sempurna. Ia memiliki senyum yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan siapa pun serta tutur kata yang mengalir tenang, sarat akan kecerdasan. Kehadirannya bagai magnet yang tak kasat mata; ia tidak perlu berteriak untuk didengar, karena karismanya yang tenang sudah cukup untuk membuat seisi ruangan tertuju padanya.
Namun sore itu, semesta Safira berhenti berputar saat sebuah notifikasi masuk. Awalnya hanya satu, lalu menjadi ribuan. Sebuah video amatir berdurasi sepuluh detik menyebar secepat api melalap ilalang kering. Di sana, di sebuah hotel di sudut Jakarta, Firdaus tampak berjalan menuju lift bersama seorang wanita yang bukan Safira, bukan pula wanita yang pernah mengaku memiliki buah hati denganya. Wanita itu seorang artis yang cukup ternama. Tangan mereka bertautan, sebuah keintiman yang tidak bisa dibantah oleh retorika politik mana pun.
Selama dua puluh sembilan tahun pernikahan, Safira merupakan istri yang berbakti. Ia tiang penyangga saat Firdaus jatuh, dan menjadi pemandu sorak paling keras saat Firdaus mendaki puncak karier sebagai pejabat publik. Publik mengenal mereka sebagai pasangan ideal, relationship goals, kata anak muda sekarang.
Safira merasa jantungnya seperti dihantam gada raksasa. Dunianya yang selama ini tertata rapi, mendadak jungkir balik. Rahasia yang disimpan Firdaus di balik karisma dan kecerdasannya akhirnya terendus oleh tajamnya lensa kamera netizen.
***
"Ibu, istirahat dulu," Bi Rohmah, asisten rumah tangganya, mendekat dengan wajah cemas. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Seluruh staf di rumah dinas itu sudah tahu. Kabar buruk memiliki sayap yang lebih cepat daripada cahaya.
Safira hanya menggeleng. Tenggorokannya terasa tersumbat batu kali. Ia ingin menangis, tapi matanya terasa kering dan perih. Ia teringat bagaimana Firdaus selalu memujinya sebagai mutiara hidupnya. Sekarang, ia merasa mutiara itu telah dilemparkan ke dalam kubangan lumpur.
Malam itu, Firdaus pulang. Suara langkah sepatunya di lantai marmer yang biasanya terdengar gagah, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi Safira. Firdaus masuk ke kamar dengan wajah kusam. Ia tidak langsung mendekat, hanya berdiri di ambang pintu, menatap Safira yang duduk mematung di pinggir tempat tidur.
"Safira, itu tidak seperti yang terlihat. Media hanya membesar-besarkan," suara Firdaus parau.
Safira menoleh. Sorot matanya yang biasanya teduh kini sedalam sumur mati. "Sudah berapa lama, Mas? Jangan katakan itu hanya kesalahpahaman. Ini bukan yang pertama. Mata tidak bisa berbohong, dan video itu bicara lebih jelas dan keras daripada ribuan pidatomu."
Firdaus mencoba mendekat, hendak menyentuh bahu Safira, namun Safira menghindar seolah sentuhan itu adalah racun.
"Mas, aku ini istrimu, bukan rakyatmu yang bisa kau bujuk dengan janji-janji manis saat kampanye," ucap Safira lirih namun tajam. "Aku selama ini mengharapkan kesetiaan darimu, sementara kau membagi hatimu di tempat lain, pada hati yang lain."
"Aku khilaf, Safira. Wanita itu hanya teman bicara," Firdaus membela diri, sebuah pembelaan yang terdengar seperti menegakkan benang basah. Mustahil untuk dipercaya.
Safira berdiri mematung, mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Firdaus. Pembelaan suaminya itu terdengar seperti nyanyian sumbang di tengah padang gersang. Kosong dan menyakitkan. Setiap alasan yang dilemparkan Firdaus terasa bagai embun di ujung rumput, begitu rapuh dan cepat menguap. Safira menatap pria itu dengan rasa asing; ia melihat Firdaus sedang merangkai kebohongan demi kebohongan untuk menambal harga dirinya yang sudah bocor. Di telinga Safira, suara Firdaus bukan lagi musik yang menenangkan, melainkan derit pintu tua yang dipaksakan tertutup, sementara di dalamnya, segalanya sudah hancur berkeping-keping.
Keesokan harinya, badai itu tidak mereda. Justru semakin mengganas. Nama Safira menjadi trending topic. Ada yang kasihan, ada yang mencibir, dan ada yang menunggu reaksi ‘Sang Ibu Peri.’
Dengan berlinang air mata, Safira mengunci diri di kamar. Ia melihat foto-foto lama mereka. Foto saat mereka merintis karier dari nol, saat makan mi instan berdua di kontrakan sempit, hingga saat Firdaus dilantik. Semuanya terasa seperti fatamorgana sekarang. Setelah ia memberikan masa mudanya, kecantikannya, dan seluruh energinya untuk mendukung karier Firdaus, inilah balasannya. Safira memang terlihat tenang di luar, tapi di dalamnya, ada tsunami yang bergolak.
Selama seminggu, Safira tidak muncul ke publik. Sementara itu untuk mengembalikan kepercayaan publik, Firdaus mencoba mengunggah foto-foto kemesraan lama mereka di media sosial, namun netizen tidak bodoh. Komentar-komentar pedas membanjiri akun Firdaus. Citra ‘pemimpin keluarga teladan’ itu runtuh sekejap mata.
***
Di sepertiga malam terakhir, Safira bersujud. Di atas sajadah berwarna biru langit itu, ia menumpahkan segala sesaknya. Ia sadar, selama ini ia mungkin terlalu mendewakan Firdaus. Ia lupa bahwa Firdaus hanyalah manusia biasa, yang bisa berkhianat dan bisa khilaf. Ia harus menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ia tidak boleh hancur hanya karena ulah satu orang pria, meskipun pria itu adalah suaminya.
Kala fajar menyapa, Safira segera menghubungi pengacara keluarganya tanpa sepengetahuan siapa pun. Langkah kakinya tak lagi gontai; ia bukan lagi sosok yang mudah rapuh saat diterjang badai. Jiwanya telah ditempa oleh pahitnya pengkhianatan. Ia menyadari sepenuhnya bahwa meski memaafkan adalah puncak dari segala kemuliaan, tetapi membiarkan diri terperangkap dalam pengkhianatan adalah sebuah kebodohan yang teramat sangat. Baginya, martabat adalah benteng terakhir yang tak boleh runtuh, karena ia tahu betul bahwa lebih baik hidup dalam kesendirian yang terhormat daripada berada dalam pernikahan yang penuh dengan dusta.
***
Sore itu, Firdaus kembali mengajak bicara. Kali ini di taman belakang, di bawah pohon kamboja jepang yang sedang meranggas.
"Safira, demi karierku, demi anak-anak, bisakah kita lupakan ini? Aku akan memutuskan hubungan dengannya. Kita buat pernyataan bersama bahwa video itu hanya editan atau salah paham," bujuk Firdaus dengan nada manipulatif.
Safira menatap suaminya dengan tatapan yang sangat asing. Ia melihat pria di depannya bukan lagi sebagai kepala keluarga, melainkan sebagai orang asing yang egois.
"Mas, kau lebih peduli pada elektabilitasmu daripada hatiku yang hancur?" Safira tersenyum pahit. "Kau mengejar kesenangan sesaat dan sekarang kau takut kehilangan takhtamu?"
"Bukan begitu, Safira..."
"Cukup, Mas. Aku sudah mengambil keputusan. Lebih baik aku hidup sendiri dengan harga diri yang utuh."
Safira menyodorkan sebuah map cokelat. Di dalamnya terdapat berkas gugatan cerai.
Firdaus terperangah. Wajahnya pucat pasi, darah seolah surut dari wajahnya. "Kau serius? Ini akan menghancurkan segalanya!"
"Tidak, Mas. Ini bukan tentang menghancurkanmu, tapi ini tentang menyelamatkanku dan anak-anak. Aku tidak ingin lagi menjadi sekadar bunga pajangan yang layu di dalam vas emas, hanya ada untuk mempercantik citramu di mata dunia, sementara di balik itu kau terus menggoreskan luka tak berdarah yang sangat perih. Selama ini aku diam bukan karena buta, tapi karena aku percaya pada janjimu yang ternyata hanya semu. Aku menolak untuk terus hidup dalam kepura-puraan, menjadi tameng bagi kesalahanmu sementara hatiku Mas injak-injak. Aku tidak akan membiarkan diriku mati perlahan dalam kebohongan yang dibungkus dengan kata demi kebaikan bersama."
Firdaus terperangah, wajahnya yang biasanya merah merona penuh wibawa seketika pucat pasi. Ia terhuyung, kata-kata Safira bagai peluru yang tepat menghujam ulu hatinya. Tangannya yang biasa menggenggam mikrofon dengan kokoh kini gemetar hebat saat mencoba meraih jemari Safira.
"Safira... kau tidak bisa melakukan ini," bisik Firdaus, suaranya parau dan pecah, hilang sudah artikulasi sempurna sang orator ulung. "Kau adalah jiwaku, penyangga takhtaku. Jika kau pergi, aku hanyalah pohon yang tumbang sebelum angin badai menerjang. Jika dunia tahu kita berpisah karena ini, habislah semua yang aku bangun selama ini!"
Ia menatap Safira dengan pandangan memelas, mencoba menggunakan sisa-sisa karismanya untuk membujuk. Namun, ia melihat di mata istrinya bukan lagi pemujaan, melainkan kekosongan yang dingin. Firdaus menyadari bahwa ia telah menabur angin, dan kini ia harus menuai badai. Keangkuhannya runtuh, pria yang biasa dipuja ribuan orang itu kini tampak kecil dan malang di depan wanita. Ia sadar, benteng kekuasaan yang ia bangun setinggi langit ternyata berdiri di atas pasir yang kini telah lumat.
***
Berita gugatan cerai Safira meledak melebihi berita perselingkuhan Firdaus. Safira memilih untuk muncul di depan media satu kali saja. Tanpa air mata, tanpa drama. Ia mengenakan kebaya putih bersih, simbol kesucian niatnya yang baru.
"Saya mencintai pernikahan saya," ucapnya di depan puluhan mikrofon yang haus berita. "Tapi saya lebih mencintai diri saya dan martabat saya sebagai wanita. Nasi sudah menjadi bubur, tapi saya akan memastikan bubur itu tetap bisa dinikmati dengan cara yang nikmat dan terhormat."
Ia tidak menjelekkan Firdaus. Ia hanya mengatakan bahwa jalan mereka sudah berbeda. Safira memilih untuk mundur dari panggung politik suaminya dan kembali ke dunia pendidikan yang sempat ia tinggalkan. Firdaus? Kariernya perlahan meredup. Rakyat kehilangan kepercayaan pada pria yang tidak bisa setia pada janji sucinya.
***
Kini, Safira terlihat lebih segar dan hari-harinya lebih berwarna. Hatinya memang pernah hancur berkeping-keping. Ia telah menjelma menjadi sebuah karya kintsugi yang hidup; setiap retakan lukanya tidak lagi disembunyikan dalam malu, melainkan direkatkan kembali dengan emas keberanian yang membuatnya tampak jauh lebih kuat dan bersinar. Safira telah sampai pada sebuah pemahaman agung, bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak bisa hancur. Ia mempunyai kemampuan luar biasa untuk memungut puing-puing diri yang berserakan, lalu menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang lebih indah dan bermartabat.
Ia tersenyum ke arah cakrawala. Lazuardi di hatinya telah retak. Namun melalui celah retakan itulah cahaya kebenaran masuk menyinari jiwanya hingga ia menjadi jauh lebih bercahaya dan berharga daripada sebelum badai itu datang menghampiri.
Magelang, 19 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar