Senja merona jingga. Aku duduk di teras
samping rumah dengan hati deg-degan menantikan pengumumam SBMPTN 2018 dua anak
kembarku, Yoga dan Yogie. Anakku dan teman-temannya hari itu sedang berada di rumah Gafna, teman SMA-nya.
Mereka memang sering mengadakan acara bersama. Kali ini membuka pengumuman
SBMPTN bersama. Berkali-kali kulirik gawai di depanku. Menanti notifikasi dari
mereka. Ting…ting… Segera kubuka gawaiku. WhatsApp dari mama Gafna yang
mengabarkan bahwa Yoga dan Yogie diterima SBMPTN. Demikian juga anak-anak yang
sedang berkumpul di sana semua diterima di PTN.
Segera aku VC Yoga dan Yogie, aku konfirmasikan berita itu.
Alhamdulillah, dua-duanya diterima di PTN di Semarang meski berbeda perguruan
tinggi. Yogie di Undip dan Yoga di UNNES. Air mata bahagiaku pun menetes.
Terima kasih, ya Allah.
Memiliki anak kembar merupakah berkah
luar biasanya bagiku. Sekali hamil, dapat dua anak. Banyak orang yang
memberikan perhatian lebih pada anak kembar. Mereka sering diperbandingkan,
terutama dari segi fisik. Kebetulan anakku kembar identik. Wajah mereka sangat
mirip. Aku bersyukur, sejak kecil mereka sangat akur, hampir tidak pernah
meributkan atau berebut sesuatu. Ke mana pun mereka selalu bersama. Dan kini,
dua-duanya diterima SBMPTN di satu kota, Semarang. Tidak bisa kubayangkan,
bagaimana perasaan mereka jika
salah satu saja yang diterima.
Pasti ada rasa tidak nyaman. Bukan dari yang tidak diterima, tetapi justru dari
yang diterima. Satu rasa mereka sangat kuat. Tidak ingin kembarannya tidak
nyaman. Sejak SD sampai SMA, bila hanya salah satunya mendapat hadiah dari
sekolah atau guru, hadiah itu tidak mereka pakai. Alasannya karena hadiahnya
hanya satu.
Segera kupersiapkan semua kebutuhan
anak-anakku. Dua hari setelah pengumuman SBMPTN, segera kami sekelurga ke Undip
dan UNNES untuk orientasi kampus dan mencari tempat kos. Pertama kami ke Undip.
Tak sengaja kami melihat tulisan yang tertempel di tiang listrik tentang tempat kos putra. Segera kami hubungi nomor
telepon tersebut. Kos itu terletak di belakang kampus Undip yaitu Perumahan
Bukit Diponegoro. Tempat itu relatif sepi
namun udaranya segar karena pohon-pohon rindang ada di sekitarnya. Bahkan
suasananya seperti di pedesaan. Menuju ke perumahan itu terlihat banyak sapi
yang dibiarkan merumput di lahan kosong yang luas milik Undip. Begitu melihat kamar kos, Yogie langsung
bersedia kos di situ. Anakku memang tidak pernah rewel terhadap sesuatu.
Setelah itu kami segera menuju UNNES.
Mencari kos di sekitar UNNES yang kamar mandi dalam lebih sulit daripada di Undip. Setelah
berjam-jam bertanya ke sana ke mari, kami menemukan kos putra dengan kamar
mandi dalam. Kebetulan kos itu baru dibuka, dan Yoga yang menempati pertama
kali. Berbeda dengan kos Yogie yang sepi, kos Yoga berada di keramaian padat
penduduk, berdekatan dengan warung-warung. Alhamdulillah, urusan kos selesai.
Persiapan berikutnya adalah
barang-barang yang akan akan dibawa ke kos. Aku harus menyiapkan dobel untuk semua
barang. Berhari-hari kami menyiapkan barang kebutuhan anak kos. Dari sprei,
kipas angin, keperluan pribadi, bahkan
sampai keperluan kecil seperti cotton bud, peniti, dan gunting kuku pun kami
persiapkan. Baju, celana, kaus, dan perlengkapan lain untuk ospek dan kuliah
nanti pun sudah kami persiapkan. Semua aku tata dalam dua tempat dan dua koper
besar, jadi waktu dibawa ke Semarang nanti barang-barangnya tidak tertukar. Aku
persiapkan pula sewa mobil bak terbuka untuk mengangkut barang-barang dan 2 motor.
Sementara nanti kami mengendarai mobil lain. Alhamdulillah, urusan barang beres.
Dua hari menjelang anak kembarku masuk
kuliah, suamiku sakit dan harus rawat inap. Suamiku memang mempunyai penyakit
kronis, tensi tinggi dan 16 tahun terkena diabetes. Waktu itu sudah 5 tahun
suntik insulin 24 unit sehari. Dari hasil pemeriksaan dokter dan laboratorium
menyatakan bahwa ginjal suamiku sudah tidak bisa berfungsi dengan semestinya.
Vonis dokter adalah sakit ginjal stadium 5 dan harus cuci darah! Gelap terasa
hidupku. Satu sisi harus mengurus anakku yang akan berangkat kuliah untuk pertama
kali, satu sisi harus mengurus suami yang sakit. Pada dokter pun aku menawar,
kalau bisa diberi obat dengan maksimal dulu, tidak usah cuci darah. Bagiku
ruang cuci darah sangat menakutkan. Jangankan masuk ruangan, di lewat depan
ruang pun sudah membuatku tergidik.
Saat tiga hari suami berada di RSU,
hari Minggu itu, anakku harus berangkat ke Semarang. Beruntung semua sudah
kusiapkan. Beruntung pula ibu mertua dan
adik iparku serta istrinya bisa mengantar ke Semarang. Betapa berat saat
itu, air mataku membanjir melepas kepergian mereka menuntut ilmu (saat kutulis ini
pun, air mataku mengalir). Saat yang harusnya diantar orang tua menuju tempat
belajar barunya, ternyata mereka harus sendiri, belajar mandiri menghadapi
takdir Illahi. Dengan air mata, kupantau terus keadaan mereka. Yogie diantar
lebih dulu, baru Yoga. Mereka sudah sampai kos masing-masing. Lega menyeruak
dalam dada.
Sehabis magrib, Yoga dan Yogie kutelepon.
Ingin kupastikan mereka nyaman dan aman. Yoga mengatakan minta tas baru karena tasnya sobek
karena jatuh. Bagaimana mungkin tas di dalam
bagasi mobil bisa jatuh. Kudesak agar dia bercerita apa yang terjadi. Aku
sangat paham sifat anak-anakku, mereka tidak akan bercerita tentang hal-hal
membuatku sedih. Dengan terbata-bata dia
cerita, kalau dia dan adiknya tadi jatuh dari motor. Mereka berboncengan
mengembalikan speaker Yogie yang lupa diturunkan
di kosnya. Karena belum hafal jalan, mereka mengandalkan google map untuk menuju
lokasi. Ternyata jalan yang ditunjukkan sangat curam. Naik turun tajam. Karena
belum menguasai medan, motor mereka oleng dan terjatuh. Mendengar berita itu
atau langsung keluar kamar tempat opname suami untuk memastikan keadaan mereka.
Aku tidak mau suamiku melihatku menangis, apalagi mendengar berita ini. Ya
Allah, baru setengah hari mereka di Semarang, sudah jatuh dari motor. Sambil
bertelepon dengan Yoga, air mataku membanjir, tak kupedulikan perawat dan
orang-orang yang lalu lalang di sekitarku. Segera aku telepon ibu kos, meminta tolong melihat keadaan
mereka. Kalau memang diperlukan mereka dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Kutelepon
adik iparku yang mengantar ke Semarang.
Kuminta dia memastikan keadaan anak-anak. Aku tidak bisa berlama-lama
meninggalkan suami di kamar sendiri. Alhamdulillah, aku sedikit tenang karena Yoga
baik-baik saja dan Yogie hanya lecet di kaki.
Malam itu malam yang paling berat
bagiku. Bagai tertimpa benda ribuan ton.
Ingin rasanya aku bergegas melihat keadaan anakku, memeluknya, mengobatinya,
membesarkan hatinya. Namun aku tak mungkin meninggalkan suamiku dalam keadaan
sakit di rumah sakit. Ginjal stadium 5,
napas tersengal-sengal, badan lemah tak berdaya. Yang bisa kulakukan hanyalah
berdoa, semoga Allah selalu menjaga anak-anakku dan memberikan kesabaran bagi
kami.
Pagi harinya, keadaan suamiku tidak
kunjung membaik. Dokter menyarankan agar suamiku cuci darah (hemodialisa/HD).
Obat yang diberikan selama di rumah sakit hanya menyembuhkan secara semu. Kalau
mau sehat, jalan satu-satunya harus HD. Dokter dan perawat menjelaskan banyak
hal tentang HD. Akhirnya, dengan mengucapkan bismillah aku tanda tangani
persetujuan tindakan HD terhadap suamiku.
Hari berikutnya, 2 hari menjelang
ulang tahun suamiku ke-50, tindakan HD-pun dilakukan. Ya Allah, betapa berat
kurasa, terasa kiamat sudah datang. Gelap semuanya. Namun aku tak bisa berbuat
banyak. Pasrah pada keadaan. Tangisku sepanjang suami HD pun tak bisa
terbendung. Ruang yang amat kutakutkan, akhirnya kumasuki juga.
Sikap perawat yang baik dan ramah
membuatku sedikit terhibur. Demikian juga keluarga pasien penunggu HD yang
memberikan simpati kepadaku membuatku sedikit tenang. Kulihat sekelilingku,
berjejer pasien yang sedang HD. Banyak di antara mereka yang kelihatan segar
dan tidak kelihatan sebagai orang sakit. Bahkan sebagian besar mereka
mengendarai motor atau mobil sendiri. Mereka kelihatan sangat akrab.
Canda-canda mereka pun sesekali terdengar. Pasien dan perawat pun terlihat
dekat. Ini membesarkan hatiku.
Selepas HD, kondisi suamiku semakin
baik. Sesak napas hilang dan badan terasa lebih segar. Mungkin ini yang terbaik
bagi suamiku. Dua hari kemudian, suamiku kembali HD bertepatan dengan ulang
tahunnya. Ulang tahun yang dirayakan dengan beberapa suntikan dan aliran darah
ke dalam mesin pencuci darah. Ulang tahun yang dirayakan di depan selang yang
mengalirkan darah. Berat? Pasti. Namun inilah yang harus dijalani. Apa dayaku
sebagai manusia selain menerima segala ketentuannya. Daun kering yang gugur
dari pohonnya saja sudah tercatat di Lauh Mahfudz, apalagi takdirku dan
keluargaku.
Kini sudah satu tahun tiga bulan suamiku HD. Banyak cerita yang
sudah aku alami. Rumah sakit seolah menjadi kantor ke dua bagiku. Seminggu dua kali, bahkan bisa 4 kali aku mengantar
suami ke rumah sakit, HD dan periksa. Opname sudah tak terhitung lagi. Tidur di
rumah sakit sendiri menunggu suami opname, malam-malam berjalan sendiri di
koridor rumah sakit yang sepi pun sudah
biasa bagiku. Mendorong kursi roda dari tempat parkir sampai ke ruang HD atau
poliklinik pun juga sudah biasa bagiku. Menyetir kendaraan pada malam hari, tengah malam, atau dini hari pun
juga harus biasa. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan sabar. Bersyukur aku bisa
membagi waktu antara bekerja dan mengurus suami. Meski sering harus berlari ke
sana sini dengan gerak cepat. Dalam
segala situasi selalu ada sisi yang bisa disyukuri.
Aku harus kuat dan bisa menjalani
semuanya. Walau sebenarnya aku tidak sekuat dan setegar yang orang-orang lihat.
Bila di depan orang, aku berusaha terlihat sebagai orang yang tak punya
masalah. Bila sendirian, aku memikirkan
keadaan yang terjadi dan air mataku
mengalir. Bila orang bertanya aku
jawab aku baik-baik saja. Aku harus berusaha menguatkan diri agar bahuku tetap
kuat untuk dijadikan sandaran bagi suami dan ketiga anakku, SariYogaYogie.
Ketiga anakku adalah permata bagiku. Tempat aku bersandar saat tua nanti. Yang mendoakakan aku saat aku
sudah meninggalkan mereka. Tetaplah kuat dan soleh solihah, anak-anakku. Aku
yakin, Allah akan memberikan yang terbaik bagi kalian.
Magelang,
26 Oktober 2019